Scrapman On The Blog

Ali Ibnu Ridwan Mengungkap Supernova

Posted in Warisan Islam by scrapman on Desember 23, 2009


Dyah Ratna Meta Novi

Karya Ibnu Ridwan, menjadi acuan menemukan titik terang soal Supernova 1006.

Sinar terang menyelimuti langit Kairo, Mesir. Seorang pemuda belia berumur 18 tahun, Ali Ibnu Ridwan, menyaksikan peristiwa besar itu. Kelak terungkap, terangnya sinar itu berasal dari sebuah ledakan yang melahirkan bintang baru, dikenal dengan Supernova 1006.

Ibnu Ridwan yang bernama lengkap Abu’l Hasan Ali Ibnu Ridwan Al-Misri, yang merupakan astronom dan juga dokter, pada saat itu baru saja memulai pendidikannya di bidang kedokteran. Ia pun, menunjukkan ketertarikannya pada astrologi dan astronomi.

Ibnu Ridwan melihat supernova itu pada malam hari, tepatnya pada 17 Syaban 396 H atau 30 April 1006. Lalu, ia menuangkan apa yang ia saksikan dan amati itu dalam salah satu bagian karyanya yang merupakan komentar atas Tertrabiblos karya Ptolemeus.

Lalu, penjelasan Ibnu Ridwan mengenai Supernova 1006 ini, banyak dikutip penulis Eropa. Mereka menyebut Ibnu Ridwan, dengan panggilan Haly atau Haly Abenrudian. Sejarawan dan astronom memburu manuskrip karyanya untuk mengetahui secara pasti apa yang terjadi pada 1006 itu.

Melalui uraian dalam karya Ibnu Ridwan itu, astronom modern mampu dengan jelas menggambarkan apa yang terjadi pada saat itu. Dari sejumlah sumber, supernova tersebut tak hanya muncul di Kairo, tetapi juga di sebelah utara biara Sankt Galle, Swiss.

Menurut laman Muslimheritage, tak ada peneliti yang memberikan gambaran seilmiah yang dilakukan Ibnu Ridwan. Menurut Ibnu Ridwan, supernova itu muncul pada tanda zodiak Scorpio, yang berseberangan dengan Matahari.

Pada hari itu, Matahari berada 15 derajat di posisi Taurus dan peristiwa tersebut mewujud pada derajat kelima belas Scorpio. Ibnu Ridwan mengungkapkan, supernova itu seperti lingkaran tubuh yang besar, ukurannya 2,5 hingga 3 kali besar Venus.

Langit, jelas Ibnu Ridwan, terang benderang karena sinarnya. Intensitas sinarnya, seperempat lebih kecil dibandingkan cahaya Bulan dan supernova itu tetap pada tempatnya. Bergerak hari demi hari dengan tanda zodiak yang mengiringinya.

Hingga Matahari berada pada tanda zodiak Virgo, saat sinar terang itu lalu hilang. Ibnu Ridwan juga menjelaskan secara perinci mengenai posisi Matahari, Bulan, dan planet lainnya hingga pada derajat dan menit pada setiap sektor zodiak saat pertama kali bintang itu muncul.

Catatan yang akurat mengenai posisi planet yang ada di dalam karya Ibnu Ridwan ini, membantu astronom modern untuk memastikan tanggal SN 1006 dan posisinya di langit. Ia mencatat bahwa kemunculan ini tak bergerak secara independen.

Dan, kemudian bintang tersebut menghilang dalam sekejap ketika Matahari berada pada 60 derajat garis bujur posisinya. Penjelasan ini, memberikan gambaran bahwa kemunculan bintang tersebut sekitar tiga bulan.

Dari tempat pengamatan Ibnu Ridwa di Kairo, bintang tersebut berada di atas horizon, hanya pada hari bintang tersebut tak terlihat. Satu milenium kemudian diketahui bahwa apa yang disaksikan dan diterangkan Ibnu Ridwan dalam karyanya itu adalah supernova.

Menurut catatan astronomi Cina, supernova itu berada di sebelah timur konstelasi Lupus, di sebelah selatan Di, dan satu derajat di sebelah barat Centaurus. Mereka juga menyatakan bahwa sinarnya sama dengan setengah intensitas bulan purnama.

Catatan Arab lainnya tentang Supernova 1006 juga ada, yaitu dalam catatan milik Ibn Al-Athir pada abad ke-13. Ia mengatakan bahwa pada 396 H atau 1006, pada bulan baru, sebuah bintang yang serupa dengan Venus muncul, di sebelah kiri kiblat.

Sinarnya yang menyinari bumi sama seperti sinar Bulan. Dari beberapa catatan di Eropa, yang paling terkenal adalah catatan Hepidannus dari St Gall, Swiss. Berdasarkan sejumlah catatan, termasuk uraian dalam karya Ibnu Ridwan, supernova tersebut terlihat selama 4 bulan.

Setelah tujuh bulan, supernova tersebut kembali terlihat saat fajar antara 24 November dan 22 Desember 1107. Pada abad ke-20, para astronom modern pun memberikan perhatian pada catatan-catatan masa silam tentang Supernova 1006 ini.

Sejumlah astronom melakukan penelitian terhadap catatan-catatan itu, untuk mengetahui secara pasti bagaimana terangnya sinar yang dipancarkan supernova itu dan lokasi di bagian langit mana supernova tersebut muncul.

Salah satunya dilakukan Frank Winkler. Hasil penelitian yang ia lakukan dianggap paling akurat. Pada 1970-an, ia berkesempatan meneliti data-data satelit emisi sinar X dari angkasa. Ia ingin melihat apakah data itu bisa memetakan lokasi bekas munculnya Supernova 1006.

Pada 1977, tim dari Inggris dan Australia, menggunakan data Ibnu Ridwan untuk memfokuskan di bagian langit mana supernova tersebut muncul. Menurut Winkler, hanya data Ibnu Ridwan yang bisa menggambar jalur planet yang memungkinkan melacak di mana supernova itu terjadi.

Dengan menggunakan uraian Ibnu Ridwan dan data sinar X, Winkler mampu mendeteksi di mana supernova itu terjadi. Ini merupakan awal proyek panjangnya terkait Supernova 1006. Ia kemudian fokus pada jarak supernova itu dengan bumi dan seberapa terang supernova itu.

Pada 2003, Winkler mampu mendapatkan perkiraan yang lebih akurat mengenai jarak supernova itu dari bumi. Ia membandingkannya dengan serangkaian citra digital yang diambil pada 1980-an dan 1990-an. Jaraknya dari bumi sekitar 7000 tahun cahaya.

Lalu, seberapa terang Supernova 1006 itu. Lagi-lagi, uraian Ibnu Ridwan dalam karyanya, membantu menjawab pertanyaan. Ibnu Ridwan, membandingkan sinar supernova itu dengan terangnya sinar Venus dan Bulan.

Winkler mengatakan, karena para astronom tahu seberapa terang sinar Venus dan bulan purnama, maka itu bisa menjadi acuan sesuai gambaran Ibnu Ridwan. Kemudian, berdasarkan pengetahuan tentang Supernova 1006 dan jaraknya dari bumi, Winkler menemukan jawaban.

Maka, Winkler pun mengungkapkan bahwa maksimum terangnya sinar supernova itu adalah -7,5. Angka ini, sesuai dengan yang diperkirakan Ibnu Ridwan dan menjadikan supernova tersebut yang paling terang dalam catatan sejarah.

Menurut Winkler, dengan diketahuinya angka tersebut, terangnya sekitar ratusan kali lebih terang dibandingkan Yupiter. Atau, kata dia, 250 kali lebih terang dibandingkan Sirius, yang merupakan bintang paling terang di langit. ed:ferry

Sang Dokter

Ibnu Ridwan dikenal pula sebagai seorang dokter. Pada masa awal perkenalannya dengan ilmu kedokteran, ia rajin memberikan komentar pada perkembangan kedokteran Yunani, khususnya pengobatan yang dikembangkan Galen.

Bahkan, banyak karya yang Ibnu Ridwan buat untuk mengomentari karya-karya Galen, seperti Ars Parva, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, oleh Gerard dari Cremona. Di sisi lain, ia dikenal melalui polemik sengit dengan dokter lainnya, Ibnu Butlan dari Baghdad.
Saat kecil, Ibnu Ridwan menerima pendidikan dasar di sebuah masjid di Kairo, termasuk membaca dan menulis, serta menghafal Alquran. Pada usia 15 tahun, ia mulai menggeluti ilmu kedokteran dan filsafat yang mengantarnya menjadi seorang yang kritis.

Dalam menjalani pendidikan, Ibnu Ridwan mengaku banyak menghadapi rintangan. Ia merasa tak begitu beruntung karena tak banyak uang yang ia miliki untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ia mendapatkan sejumlah uang untuk hidup melalui praktik kemampuan yang ia miliki.

Ibnu Ridwan mendapatkan uang dari praktik astrologi dan kedokteran. Ia juga merasa kecewa dengan sistem pendidikan kedokteran
yang berlangsung saat itu. Ia ingin berguru pada dokter di Baghdad yang dianggapnya lebih baik namun ia tak punya cukup uang untuk ke Baghdad.

Sebagai gantinya, Ibnu Ridwan mulai membaca tentang pengobatan klasik Yunani, terutama yang diperkenalkan oleh ahli pengobatan Yunani, Galen. Ia belajar secara otodidak mengenai pengobatan yang diungkapkan Galen tersebut.

Saat Ibnu Ridwan membaca bahwa hanya mereka yang terlatih di bidang geometri atau logika yang bisa memahami apa yang diajarkan Galen, ia menunda untuk mempelajari kedua bidang itu. Namun, sesaat kemudian ia kembali menekuni Galen dan mempelajari Hippocrates.

Pada suatu saat, seorang temannya yang juga dokter menjadikan Ibnu Ridwan sebagai asistennya. Ia kemudian membangun klinik kedokterannya sendiri dan memiliki banyak pasien. Di sisi lain, ia menekuni astronomi. ”Bidang saya kedokteran dan astronomi,” katanya.

Hingga kemudian, Ibnu Ridwan juga ditunjuk sebagai dokter kepala di Mesir oleh Khalifah Al-Hakim, yang berasal dari Dinasti Fatimiyah. Pada 13 Februari 1021, Al-Hakim, yang menjadi patronnya, meninggal karena sakit.

Meninggalnya Al-Hakim, melahirkan kondisi sulit bagi Ibnu Ridwan. Ia lalu memutuskan berinvestasi di bidang real estate, sehingga bisa pensiun dari istana dengan nyaman. Ia pun memberikan pengajaran tentang kedokteran di sejumlah sekolah.

Reputasi Ibnu Ridwan pun kian menanjak. Ia bahkan dikenal hingga Makran, Baluchistan. Penguasa Baluchistan sering berkonsultasi kepadanya tentang pengobatan.

Saat Ibnu Ridwan meninggal, kemungkinan pada 1067 atau 1068, Ibnu Ridwan telah menulis lebih dari seratus karya di bidang kedokteran. Karya-karyanya terutama adalah komentar tentang Galen dan Hippocrates. Ia juga menulis sejumlah risalah pengobatan. meta, ed:ferry

http://republika.co.id/koran/36

Teori-teori Ekonomi Ibnu Khaldun

Posted in Warisan Islam by scrapman on Desember 21, 2009

Dyah Ratna Meta Novia

Ibnu Khaldun telah mencetuskan sejumlah teori dasar ekonomi modern jauh sebelum Adam Smith dan David Ricardo.

Pada puncak kejayaannya, dunia Islam tak hanya unggul dalam bidang politik dan militer saja. Salah satu faktor penting yang menopang kemajuan Kekhalifahan Islam di era keemasan adalah sistem perekonomian yang kuat. Dengan menguasai ekonomi dunia, dunia Islam sempat menjadi adikuasa yang disegani.

Dunia Islam di era keemasan memiliki sederet ekonom yang telah mencurahkan pemikirannya untuk membangun Kekhalifahan Islam. Salah satunya adalah Ibnu Khaldun. Sejatinya, ia adalah ilmuwan Muslim yang serbabisa. Namun, cendekiawan Muslim yang terlahir di Tunisia itu juga telah menyumbangkan pemikirannya tentang ekonomi.

Ibnu Khaldun sudah mencetuskan berbagai macam teori ekonomi, jauh sebelum lahirnya para ekonom Barat yang diklaim sebagai bapak ekonomi seperti Adam Smith (1723-1790 M) dan David Ricardo (1772-1823). Ibnu Khaldun telah mencetuskan sejumlah teori dasar ekonomi modern yang hingga kini masih tetap berlaku.

Teori-teori yang dicetuskannya merupakan hasil pemikiran yang terlahir dari hasil pengamatannya terhadap berbagai masyarakat yang kemudian dipadukan dengan analisis tajam dengan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Tak heran jika Ibnu Khaldun sempat didaulat sebagai guru besar Universitas al-Azhar Kairo yang dibangun Dinasti Fatimiyah.

Selama mengabdikan dirinya di salah satu universitas tertua dan terkemuka di dunia itu, Ibnu Khaldun menulis sederet karya fenomel di bidang ekonomi, yang hingga kini masih menjadi obyek studi. Lantas apa sumbangan Ibnu Khaldun dalam bidang ekonomi?

Ibnu Khaldun tercatat sebagai ekonom pertama yang secara sistematis menganalisis fungsi ekonomi, pentingnya teknologi, spesialisasi dan perdagangan ke luar negeri jika negara mengalami surplus ekonomi. Ia juga menekankan peran pemerintah dan kebijakan stabilisasi untuk meningkatkan output produksi serta pembukaan kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat.

Sang ekonom telah mempelajari ekonomi, sosiologi, ilmu politik dan berbagai ilmu lainnyauntuk memahami perilaku manusia dan sejarah. Dia mengungkapkan fakta bahwa spesialisasi merupakan sumber utama terjadinya surplus ekonomi. Pernyataan tersebut diungkapkan hampir tiga abad sebelum Adam Smith mengungkapkannya.

Menurut Ibnu Khaldun, ketika ada suatu lingkungan yang kondusif untuk melakukan spesialisasi, maka sebaiknya pengusaha didorong untuk melakukan perdagangan dan produksi lebih lanjut. Dengan spesialisasi, seseorang bisa mendapatkan keuntungan lebih banyak dari usahanya.

Dalam menjelaskan spesialisasi, Ibnu Khaldun mengatakan, ”Setiap jenis kerajinan tertentu harus dihasilkan oleh orang-orang yang mahir dan terampil dalam membuat kerajinan tersebut. Semakin banyak berbagai subdivisi dari suatu kerajinan, maka semakin besar pula jumlah orang-orang yang harus mahir dalam membuat kerajinan tersebut.”

Para perajin, papar dia, harus mempunyai keahlian tertentu dan mereka dari hari ke hari semakin mahir dalam membuat kerajinan tangan. Pengetahuan mereka tentang kerajinan juga semakin banyak. Jika hal ini dilakukan dalam waktu yang lama, maka kerajinan akan berakar kuat dan bisa menjadi sumber mata pencaharian yang bagus.

Menurutnya, spesialisasi berarti koordinasi dari berbagai fungsi dari faktor produksi. Sehingga, orang-orang akan mendapatkan kepuasan yang lebih dengan melakukan kerja sama dari pada mengerjakannya sendirian. Selain itu, koordinasi dan kerja sama dalam proses produksi harus ada dalam kewirausahaan berdasarkan kekuatan pasar.

Ibnu Khaldun menganggap pekerja dan pengusaha sebagai pelaku ekonomi yang dihormati dalam masyarakat. Keduanya mencoba untuk memaksimalkan kegiatan mereka untuk mendapatkan upah dan laba. Baginya, keuntungan adalah motif utama dalam kewirausahaan. Sebab, dengan meraih banyak keuntungan diharapkan produksi bisa diperluas.

Sedangkan, perdagangan berarti usaha untuk meraih keuntungan dengan meningkatkan modal, melalui pembelian barang-barang dengan harga rendah lalu menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi. Laba merupakan nilai yang direalisasikan dari tenaga kerja. Namun nilai ini, yakni harga tenaga kerja, ditentukan oleh hukum penawaran dan permintaan. Poin ini tidak terjawab oleh Karl Marx dan para pengikutnya.

Menurut Ibnu Khaldun, koordinasi, kerja sama dan arah faktor-faktor produksi dalam meningkatkan surplus ekonomi produktif, merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh pengusaha. Tujuannya untuk mencari keuntungan. Para pengusaha menghabiskan waktu, tenaga dan modal untuk mencari barang dan jasa lalu menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi demi memperoleh keuntungan.

Ibnu Khaldun memuji prakarsa para pengusaha dalam kegiatan produktif mereka dan mereka pantas mendapat keuntungan dari usaha mereka yang berisiko. Bahkan Karl Marx dan David Ricardo kurang bisa memahami hal tersebut.

Selain itu, sang ekonom Musim legendaris itu juga mengungkapkan sebuah teori ekonomi yang menyatakan harga barang dan jasa ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Ketika suatu barang langka dan permintaan naik, maka harga menjadi tinggi. Para pedagang akan membeli barang di pusat barang tersebut diproduksi. Sehingga mereka bisa membeli dengan harga murah.

”Lalu mereka akan menjual barang tersebut di daerah yang barang tersebut masih dianggap langka serta tentu saja yang permintaan terhadap barang tersebut tinggi,” papar Ibnu Khaldun. Dengan demikian, kata dia, para pedagang bisa menjual barangnya dengan harga tinggi dan mendapat laba yang lebih banyak.

Namun ketika pada suatu tempat terdapat barang yang jumlahnya berlimpah, maka harga barang menjadi rendah. Ibnu Khaldun juga telah berhasil menunjukkan konsep biaya jangka panjang produksi. Ia juga terus menekankan kebijakan moneter yang stabil. Ibnu Khaldun benar-benar menentang kebijakan-kebijakan yang bisa memainkan nilai mata uang.

Dia khawatir, pihak berwenang tergoda untuk mempermainkan nilai mata uang untuk mendapatkan keuntungan guna membangun istana dan membayar gaji para tentara bayaran. Jika pihak berwenang sampai melakukan hal itu, maka bisa terjadi inflasi dan penduduk akan kehilangan kepercayaan terhadap mata uang.

Menurut Ibnu Khaldun, perlindungan terhadap daya beli uang itu harus dilaksanakan sebagai bentuk keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu, dia mengusulkan berdirinya badan moneter yang independen di bawah kekuasaan Hakim Agung, yang takut kepada Allah SWT. Sebab jika dibawah penguasa yang tidak takut Allah SWT, maka penguasa tersebut bisa mempermainkan nilai mata uang demi keuntungan pribadi.

Pajak dalam Pandangan Ekonom Legendaris

Dalam sebuah risalah ekonomi yang ditulisnya, Ibnu Khaldun pernah menulis dan membahas masalah pajak. Tulisan tersebut tercantum dalam bukunya yang fenomenal berjudul Muqqadimah. Tulisan tentang pajak termuat pada bagian faktor pemicu peningkatan dan penurunan pendapatan negara/kerajaan.

Menurut Ibnu Khaldun, sebuah kerajaan yang baru saja didirikan, memungut pajak dari rakyatnya dalam jumlah yang tak terlalu besar.. Tetapi, ketika kerajaan tersebut semakin berkembang, maka pajak yang dipungut dari rakyatnya juga kian besar.

Jika para pendiri kekaisaran/kesultanan mengikuti jalan agama, mereka akan menerapkan pajak yang disahkan oleh hukum Tuhan yang mencakup zakat, kharaj (pajak tanah), dan jizyah. Baik zakat, kharaj, maupun jizyah jumlahnya tidak terlalu memberatkan bagi masyarakat. Lagi pula pajak semacam itu sudah tetap dan tidak bisa dinaikkan.

Ibnu Khaldun berpendapat, sebuah kerajaan yang dibangun dalam sistem suku dan penaklukan merupakan nomaden. Sebenarnya, kata dia, peradaban dibentuk untuk membuat para penguasa menjadi penuh kebaikan, kesabaran. Sehingga, kata dia, pajak dan kewajiban-kewajiban pribadi ya
ng digunakan untuk memberikan pendapatan kepada kerajaan seharusnya tak memberatkan.

”Jika pajak tak memberatkan, maka subjek pajak akan melaksanakan kewajiban mereka dengan penuh antusiasme,” papar Ibnu Khaldun. Menurutnya, masyarakat akan giat bekerja untuk menyisihkan sebagian penghasilannya, guna membayar pajak yang ringan. Sehingga akan lebih banyak orang yang bekerja keras untuk meraih pendapatan. Hasilnya, orang yang membayar pajak akan meningkat dan pendapatan negara juga bertambah.

Menurut dia, ketika sebuah kerajaan telah mengalami periode yang cukup panjang dan mulai menetap, tidak nomaden lagi, kaka kerajaan akan melakukan kegiatan bisnis. Kemudian kesederhanaan, tata krama, dan kesabaran mulai menghilang. Administrasi dituntut lebih detil.

Anggota kerajaan semakin sejahtera dan penuh dengan kesenangan.
”Mereka hidup dalam kemewahan dan kebutuhan baru yang kurang penting mulai bermunculan,” tuturnya. Hal itu, ungkap Ibnu Khaldun, mendorong kerajaan untuk menaikkan pajak pada semua golongan masyarakat, termasuk petani.

Mereka ingin pajak membawa lebih banyak keuntungan bagi negara. Mereka juga memaksakan penjualan produk-produk pertanian ke kota-kota. Ketika pengeluaran untuk pembelian barang mewah semakin meningkat dalam pemerintahan, maka pajak pun pasti naik.

Akibatnya, rakyat semakin terbebani dan itu membuat semangat para petani untuk bekerja semakin luntur. Sebab semakin banyak pendapatan yang mereka hasilkan, kian besar pula pajak yang harus ditanggung.

Ketika petani membandingkan antara biaya pengeluaran dengan pendapatan. Mereka jadi semakin kecewa. Sehingga mereka meninggalkan pertanian. Hal ini menimbulkan penurunan pajak yang dikumpulkan oleh negara. Sehingga pendapatan negara berkurang.
”Oleh karena itu, sebaiknya negara atau pemerintah tidak menerapkan pajak yang terlalu tinggi kepada masyarakatnya supaya mereka giat bekerja,” papar Ibnu Khaldun. Demikianlah salah satu sumbangan penting Ibnu Khaldun dalam bidang ekonomi. dya

http://republika.co.id/koran/36

Bilangan Amicable

Posted in Warisan Islam by scrapman on Desember 20, 2009

Sepakat dengan Ibnu Khaldun, salah satu pengkaji (dan perintis) Filsafat Sejarah, ilmu pengetahuan dalam persepsi ilmu sejarah nampak sebagai sebuah warisan turun temurun umat manusia yang terus berkembang tanpa mempunyai sebuah titik akhir. Ilmu pengetahuan adalah hak segala umat dan bangsa, bersifat tak berakhir, sehingga terus dan akan terus berkembang. Barangkali, ilmu pengetahuan juga seperti cinta yang (deritanya) tiada akhir –menurut persepsi Ti Pat Kai si Dewa Cinta.

Ngomong-ngomong soal sejarah, ilmu pengetahuan dan cinta, saya jadi teringat tentang salah satu terma ilmu matematika yang –barangkali- bisa memadukan tiga dimensi tersebut. Adalah Bilangan Amicable, sepasang bilangan yang dalam sejarahnya mampu memadukan nilai cinta dan ilmu pengetahuan sekaligus.

Dalam istilah ilmiah resmi Bilangan Amicable biasa disebut dengan istilah al A’dâd al Wafaq, al A‘dâd al Mutahâbah, Amicable Number dan –ataupun- Friendly Number.

Bilangan Amicable merupakan sebuah istilah untuk sepasang bilangan yang masing-masing bilangannya adalah jumlah dari pembagi- pembagi bilangan pasangannya.

Bilangan Amicable ditemukan –dan dirumuskan- pertama kali oleh Tsabit bin Qurah al Shabi pada paruh akhir abad kesembilan M (paruh akhir abad ketiga H).

Beberapa Bilangan Amicable ditemukan oleh Tsabit bin Qurah dan (dikenal) oleh para matematikawan Arab setelahnya. Di antaranya ialah bilangan 220 dan 284.

Pembagi dari 220 adalah 1, 2, 4 , 5, 10, 11, 20, 22, 44, 55, 110. Bila semua bilangan pembagi tersebut dijumlahkan, maka hasilnya adalah 284.

Begitu pula dengan 284. Pembagi dari 284 adalah 1, 2, 4, 71, 142. Bila semua bilangan pembagi tersebut dijumlahkan, maka hasilnya adalah 220.

Adalah Maqâlah fi I’dâd al Wafaq, karya tulis Ibnu al Haitsam yang secara khusus membahas Bilangan Amicable. Barangkali saja, maqalah tersebut merupakan karya tulis pertama yang membahas Bilangan Amicable –temuan Tsabit bin Qurah- secara khusus dan penuh.

Pada tahun 1636 M Fermat menemukan sepasang Bilangan Amicable, 17296 dan 18416. Dua tahun kemudian, sahabat Fermat, Rene Decartes menemukan sepasang lagi Bilangan Amicable, 9363584 dan 9437056. dst.

Sekian, Terima Kasih.

http://abdullahmuzakki.wordpress.com/2009/04/

Tumbuhnya Industri di Dunia Islam

Posted in Warisan Islam by scrapman on Desember 20, 2009

Dyah Ratna Meta Novi

Perkembangan industri di dunia Islam telah ada sebelum terjadinya revolusi industri di Barat.

Kemajuan industri telah menjelma saat pemerintahan Islam wujud. Pada 700 hingga 1700 M, umat Islam telah mampu mengembangkan industri yang terbentang luas dari Cina hingga Spanyol. Ini mendahului era revolusi industri yang terjadi di Inggris pada pertengahan abad ke-18.

Saat itu, umat Islam telah mampu menghasilkan produk-produk dalam sebuah industri yang kemudian tak hanya menyebar di kawasan Islam, tetapi juga kawasan lainnya. Kemajuan teknologi yang dikembangkan umat Islam, memberi sokongan utama pula bagi tumbuhnya industri itu.

Sebut saja kincir angin dan roda air. Kedua alat ini menjadi sarana utama dalam memasok energi bagi proses produksi produk-produk industri saat itu. Tak heran jika kemudian teknologi kincir angin dan roda air terus dikembangan di dunia Islam.

Sejumlah industri yang lahir di antaranya industri baja, pembuatan kertas, pembuatan keramik dan kerajinan tanah liat lainnya, pembuatan kaca, tekstil, pertanian, pembangunan kapal, industri perikanan, ekstraksi mineral, industri logam, dan produk kimia.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, misalnya, industri manufaktur benar-benar didorong dan didukung supaya berkembang pesat oleh para khalifah. Tak heran jika kemudian industri kertas, menyebut salah satu saja, berkembang dengan pesat di Irak.

Tak hanya itu, industri kertas juga berkembang dengan baik di wilayah lainnya, seperti Mesir, di mana keberadaan industri kertas tersebut mampu menampung banyak pekerja. Di Basra, Irak, juga terdapat banyak industri pembuatan kaca dan sabun.

Sedangkan Persia, merupakan negara Muslim yang terkenal dengan industri emas dan industri sulamnya, serta karpet. Di kota-kota besar di dunia Islam, berbagai produk industri kelas atas seperti kain satin, brokat, sutra, dan karpet diperdagangkan.

Produk-produk berkualitas itu sangat diminati para konsumen di seluruh dunia. Sejumlah wilayah menghasilkan produk-produk itu, Kufa, terkenal dengan industri kain sutra dan sapu tangan sutranya. Sapu tangan dari wilayah itu dikenal dengan sebutan kuffiyeh.

Sementara itu, Khuzistan (Susiana kuno) menghasilkan kain-kain yang sangat bagus dengan kualitas prima. Selain itu, tempat penelitian kimia di Iundishapur, bisa jadi menjadi tempat penelitian paling tua dan sebagai tempat para sarjana mempelajari ilmu alam.

Melalui penelitian kimia di Iundishapur tersebut ditemukan pengetahuan tentang pemurnian gula yang telah berhasil diterapkan pada industri gula di Khuzistan dan kemudian diterapkan pada industri gula yang ada di Spanyol.

Sebut juga Damaskus, Suriah, merupakan wilayah yang terkenal dengan industri pembuatan pedang baja. Pada awal abad ke-9, Suriah dikenal pula dengan industri kacanya, yang berhasil memproduksi kaca berwarna dan dihias bagian pinggirnya.

Berkembangnya beragam industri ini, membuat pemerintahan Islam memiliki banyak komoditas yang diperdagangkan, termasuk untuk diekspor ke negeri lainnya. Hal ini juga terjadi pada masa Abbasiyah, di mana beragam industri telah tumbuh pesat.

Komoditas ekspor saat itu adalah hasil dari industri pertanian, kaca, berbagai macam perangkat keras, kain sutra, tekstil, parfum dari segala jenis bunga misalnya mawar, juga dari rempah seperti kunyit, sirup, dan minyak.

Dan secara umum, setiap kota di dunia Islam, telah memiliki industrinya sendiri juga industri unggulannya masing-masing, di antaranya logam, kaca, wol, sutra, atau linen. Kemajuan teknologi, menopang pula kemajuan industri-industri itu.

Selain kincir angin dan roda air seperti disebutkan di atas, penemuan sejumlah mesin pun mendorong kemajuan industri lebih jauh. Keberadaan mesin ini berguna untuk memangkas proses produksi yang sebelumnya lumayan panjang, sehingga bisa lebih singkat.

Mesin-mesin produksi ini, yang digerakkan pula dengan kincir angin maupun roda air, kemudian menggantikan tenaga manusia. Salah satu ilmuwan Muslim yang memberikan kontribusi besar dalam penemuan sejumlah mesin adalah Al-Jazari.

Salim T S Al-Hassani, Ketua Foundation for Science, Tecnology, and Civilisation, Inggris, mengungkapkan, selama ini para sarjana memiliki pemikiran bahwa perkembangan industri termasuk manufaktur lahir dari gagasan Barat yang mulai berlangsung dari pertengahan abad ke-18.

Dengan pemikiran ini, lahir anggapan bahwa di seluruh belahan dunia manapun tak ada perkembangan industri hingga muncul apa yang disebut dengan revolusi industri yang terjadi di Inggris, pada pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19.

Lalu, revolusi ini diikuti revolusi industri di negara-negara lainnya, yaitu di Prancis, Jerman, Amerika, dan Jepang yang mengaku memprakarsai kelahiran dan perkembangan manufaktur serta produksi massal. Gagasan ini banyak diajarkan di negara-negara Barat.

Bahkan, kata Hassani, banyak pula negara Asia yang meyakini gagasan tersebut. Orang-orang Eropa berpikir, selain mereka, tak ada pihak yang memiliki tradisi pengembangan industri. Sebab, industri merupakan hal yang asing bagi orang di luar Eropa.

Padahal, pemikiran tersebut tidak sepenuhnya benar. Namun ternyata, ada perkembangan industri sebelum munculnya perkembangan industri di dunia Barat. Sejumlah catatan sejarah, kata Hassani, mengungkapkan perkembangan industri telah lahir di masa Islam.

Hassani pun kemudian menyingkapkan sejumlah bukti perkembangan industri di masa Islam, yang ada jauh sebelum munculnya revolusi industri di Barat. Produk industri, manufaktur, dan produk massal untuk penduduk perkotaan dan ekspor telah ada di masa Islam.

Produk-produk itu dihasilkan oleh mesin dengan pasokan energi yang berasal dari kincir angin dan roda air. Semua itu, jelas Hassani, telah ada sebelum abad ke-18. Industri peleburan logam dalam jumlah besar untuk keperluan lokal dan luar negeri sudah ada pada masa itu.

Bukti lainnya, tekstil baik yang diproduksi orang-orang Cina maupun umat Islam di Spanyol, menggunakan cara yang tidak begitu berbeda dari metode-metode pembuatan tekstil yang digunakan pada era modern sekarang.

Hasil industri berupa produk yang beragam, tidak dipertukarkan secara barter tetapi diperdagangkan dengan menggunakan uang tunai atau dibayar dengan cek yang dihormati dan dihargai di seluruh Asia, Afrika, dan Eropa Selatan.

Tak hanya itu, ungkap Hassani, modal yang dimiliki para pemilik industri diinvestasikan dan direinvestasikan di wilayah luas menurut mekanisme yang sesuai dengan metode modern saat ini. ed: ferry

Industri Menopang Kemakmuran Spanyol

Perkembangan industri pun sampai di Spanyol pada saat pemerintahan Islam berkuasa di sana. Spanyol menjadi sebuah wilayah yang makmur karena memiliki industri dan produksi skala besar, dengan pendapatan dari perdagangan yang jumlahnya melebihi pendapatan wilayah lainnya.

Terutama, gabungan pendapatan negara-negara Kristen di Eropa. Industri tekstil yang terdapat di Kordoba memiliki 13 ribu alat tenun dan Almeria mempunyai 4.800 alat tenun. Di Kordoba, industri kulit juga mengalami perkembangan pesat.

Seiring pula dengan berkembangnya penyamakan kulit, bahkan perkembangan itu hingga mencapai Maroko, Afrika Utara, Inggris, dan Prancis. Industri kain muncul pula. Kain wol kelas atas dan kain sutra diproduksi di Kordoba, Malaga, Almeria, dan kota-kota lainnya.

Produksi sutra mentah ditingkatkan dengan meningkatkan populasi ulat sutra yang banyak dikembangkan di Spanyol era kekhalifahan. Selain itu, Almeria pun menghasilkan gelas dan kuningan. Sejarawan Spanyol, Ibnu Al-Kha, mengatakan, di Valencia tumbuh industri tembikar.

Bahkan, kata Al-Kha, Valencia saat itu dikenal sebagai rumah tembikar. Di wilayah lain, bermunculan pula jenis industri lainnya. Seperti di Iaen dan Algrava, yang terkenal dengan tambang emas dan peraknya. Pun di Kordoba, yang mengembangkan pula tambang besi dan tima
h.

Sedangkan di Malaga, tumbuh industri batu rubi. Ada pula Toledo, yang dikenal, seperti Damaskus, sebab dikenal dengan industri pedang bajanya. Di sisi lain, seni menghias baja dan logam lainnya dengan menggunakan emas dan perak berkembang pula di sana.

Keahlian tersebut dibawa dan diperkenalkan oleh para pengrajin dari Damaskus, termasuk keahlian dalam mendekorasi logam dengan pola bunga. Selain berkembang di Spanyol, hal tersebut juga berkembang di sejumlah negara Eropa lainnya.

Sementara itu, di Sevilla terdapat banyak industri, seperti tekstil, pertanian, kertas, gula, bubuk mesiu, porselin, tanah liat, besi, baja, dan industri kulit. Ada pula wilayah Murcia yang menghasilkan wol serta Granada menghasilkan sutra. meta, ed: ferry

Penemu Sirkulasi Pernapasan: Ibn Al-Nafis atau Harvey?

Posted in Warisan Islam by scrapman on Desember 20, 2009

Karena dianggap bertentangan dengan Galen, Michael Servetus dianggap menyimpang. Hukumannya, dirinya dan buku Christianismi Restitutio karyanya pun dibakar. Penemuan sirkulasi dalam paru-paru menjadi hal yang penting dan mengundang banyak perdebatan dalam dunia kedokteran. Pendapat yang diyakini selama ini, teori mengenai sirkulasi paru-paru — kaitan antara pernapasan dan peredaran darah — ditemukan oleh ilmuwan Eropa mulai abad ke-16. Penggiatnya berturut-turut adalah Servetus, Vesalius, Colombo, dan terakhir Sir William Harvey dari Kent, Inggris. Namun penelusuran sejarah lebih lanjut, dengan meneliti berbagai manuskrip dan objek sejarah lain, maka kejelasan mulai diungkapkan: penemu sirkulasi paru-paru adalah Ibnu Al-Nafis, ilmuwan Muslim abad ke-13. Adalah Dr Muhyo Al-Deen Altawi, fisikawan Mesir, yang mulai menyusur kanal-kanal sejarah sejak tahun 1924. Ia menemukan sebuah tulisan berjudul Commentary on the Anatomy of Canon of Avicenna di perpustakaan nasional Prussia, Berlin (Jerman). Saat itu, ia tengah belajar mengenai sejarah Kedokteran Arab di Albert Ludwig’s University Jerman.

Tulisan dalam bentuk diktat itu, merunut pada konteks waktunya, dianggap sebagai karya tulis terbaik yang merangkai secara detil topik-topik anatomi, patologi, dan fisiologi. Diktat yang belakangan diketahui sebagai karya Ibnu Al Nafis ini juga mengungkap sesuatu yang mengejutkan: deskripsi pertama di dunia mengenai sirkulasi paru-paru!

Ia menguraikan lebih jauh konsep yang dipancangkan ilmuwan sebelumnya, Galen, pada abad ke-2. Konsep sirkulasi yang dikembangkan Galen menyebut adanya ‘lorong rahasia’ antara dua bilik jantung. Ia menguraikan bagaimana darah mencapai bagian kanan jantung dan bergerak menuju pori-pori yang tak terlihat di cardiac septum menuju bagian kiri jantung. Di sana darah bertemu dengan udara dan membangun sebuah ‘kekuatan’ sebelum diedarkan ke seluruh tubuh. Menurut Galen, sistem vena merupakan bagian yang terpisah dari sistem arteri saat mereka ‘kontak’ dalam pori-pori tak terlihat itu.

Namun, Ibnu Al-Nafis, berdasar pengetahuannya yang mendalam terhadap anatomi, memikirkan hal yang berbeda:
“…Darah dari kamar kanan jantung harus menuju bagian kiri jantung, namun tak ada bagian apapun yang menjembatani kedua bilik itu. Sekat tipis pada jantung tidak berlubang. Dan bukan seperti apa yang dipikirkan galen, tak ada pori-pori tersembunyi di dalam jantung. Darah dari bilik kanan harus melewati vena arteriosa (arteri paru-paru) menuju paru-paru, menyebar, berbaur dengan udara, lalu menuju arteria venosa (vena paru-paru) dan menuju bilik kiri jantung dan bentuk ini merupakan spirit vital…”

Dalam buku itu dia juga mengatakan:
“Jantung hanya memiliki dua kamar…dan antara dua bagian itu sungguh tidak saling terbuka. Dan, pembedahan juga membuktikan kebohongan yang mereka ungkapkan. Sekat antara dua bilik jantung lebih tipis dari apapun. Keuntungan yang didapat dengan adanya sekat ini adalah, darah pada bilik kanan dengan mudah menuju paru-paru, bercampung dengan udara di dalam paru-paru, kemudian didorong menuju arteria venosa ke bilik kiri dari dua bilik jantung…”

Mengenai anatomi paru-paru, Ibnu Al-Nafis menulis:
“Paru-paru terdiri dari banyak bagian, pertama adalah bronchi, kedua adalah cabang-cabang arteria venosa, dan ketiga adalah cabang-cabang vena arteriosa. Ketiganya terhubung oleh jaringan daging yang berongga.”

Dia menambahkan lebih detil mengenai sirkulasi paru-paru:
“… Yang diperlukan paru-paru untuk transportasi darah menuju vena arteriosa adalah keenceran dan kehangatan pada jantung. Apa yang merembes melewati pori-pori pada cabang-cabang pembuluh menuju alveoli pada paru-paru adalah demi percampurannya dengan udara, berkombinasi dengannya, dan hasilnya memjadi sesuatu yang diperlukan di bilik kiri jantung. Yang mengantar campuran itu ke bilik kiri arteria venosa.”

Kontribusi lain Ibnu Al Nafis adalah bantahannya tentang nutrisi bagi jantung. Avicenna menulis makanan jantung diekstrak dari pembuluh kecil dan didorong ke dinding. Kata Al Nafis:

“… Berbeda dengan pernyataannya (Avicenna-red) bahwa darah pada bagian kanan adalah untuk memberi makanan jantung adalah tidak benar sama sekali.”

Eropa terlambat memahami

Sayangnya, pengetahuan yang sungguh penting dalam dunia kedokteran ini hanya populer di dunia medis Arab. Eropa baru mengetahuinya 300 tahun kemudian, saat Andrea Alpago dari Belluno menerjemahkan karya Al nafis itu dalam bahasa Latin tahun 1547. Kemudian, Michael Servetus menjelaskan teori sirkulasi paru-paru dalam buku teologinya yang berjudul Christianismi Restitutio pada tahun 1553. Dia menulis: “…Udara dan darah bercampur dan dikirim dari paru-paru menuju jantung melalui pembuluh arteri; bagaimanapun, percampuran itu terjadi di paru-paru. Warna cerah akan diberikan paru-paru, bukan jantung.”

Dan, teori Servetus ini — yang terkesan menjiplak Al Nafis — dieksekusi oleh Gereja karena dianggap berlawanan dengan apa yang diajarkan oleh Galen. Konsekuensinya, ia bersama bukunya dibakar. Andreas Vesalius mengikuti jejak Servetus menerangkan teori sirkulasi paru-paru. Dalam bukunya, De Fabrica, ia menulis persis seperti apa yang diuraikan Al Nafis. Pada edisi pertama buku Vesalius (1543), ia setuju dengan pendapat Galen bahwa darah dari bilik kanan menuju bilik kiri melalui sebuah sekat tipis.

Namun pada edisi keduanya, tahun 1555, ia sedikit meralatnya dengan kalimat: “Saya masih belum melihat bagaimana sekat yang sungguh tipis itu bisa mengalirkan darah dari bilik kanan menuju bilik kiri.” Pendapat itu dikuatkan oleh Realdus Colombo (1559) dalam bukunya, De re Anatomica.

Penjelasan lebih rinci dikemukakan William Harvey. Pada tahun 1628 ia mendemonstrasikan langsung observasi anatomi di laboratorium hewan. Ia menjelaskan bagaimana darah berpindah dari bilik kanan, menuju paru-paru, lalu masuk ke bilik kiri jantung melalui vena paru-paru. Ia juga menunjukkan tak ada satupun pori-pori dalam sekat interventrikular jantung.

Ia menulis dalam monografnya: “Exercitatio anatomica de motu cordis et sanguinis in animalibus: Saya mulai berpikir tentang gerakan yang sangat cepat dalam lingkaran itu. Saya menemukan kebenaran bahwa darah dipompa dalam satu hentakan dari bilik kiri didistribusikan melalui pembuluh arteri ke seluruh bagian tubuh dan kembali melalui vena dan kembali ke bilik kanan, hanya setelah terkirim ke paru-paru dari bilik kanan.”

Source: Republika Online

http://swaramuslim.net/khasanah/more.php?id=2_0_21_35_M